Minggu, 09 Juni 2013
fakta dibalik konferensi meja bundar
MUNGKIN tidak banyak yang tahu, jika ada perjanjian terselubung di balik Konferensi Meja Bundar (KMB). Siapa sangka, di balik peristiwa sejarah yang disebut-sebut menjadi tonggak pengakuan kedaulatan Republik Indonesia itu, tersembunyi perjanjian pembayaran utang-utang penjajah kolonial Belanda.
Fakta mencengangkan dari perjanjian yang digelar di Den Haag Belanda, 23 Agustus 1949, itu diceritakan Pengamat Ekonomi, Revrison Baswir, saat mengisi sebuah seminar di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Hal itu tak urung membuat peserta seminar yang umumnya mengaku tidak mengetahui fakta tersebut tercengang.
Menurut Revrison, untuk mengakui kedaulatan Republik Indonesia, pemerintah Belanda mengajukan beberapa persyaratan. Salah satunya, Indonesia harus mau mewarisi utang-utang yang dibuat Hindia Belanda, sebesar 4 miliar dolar AS. Indonesia yang saat itu diwakili Mochamad Hatta, menyetujui syarat tersebut.
"Sebelumnya, Hatta telah mendapat lampu hijau dari Soekarno untuk menyetujuinya. Indonesia menyetujui syarat tersebut untuk mendapat pengakuan kedaulatan. Namun, rencananya, Indonesia tidak akan membayar utang tersebut dan tetap membiarkannya menjadi tanggungan pemerintah Hindia Belanda," tutur Revrison.
Indonesia pun menjalankan rencana tersebut. Pada kurun waktu 1949-1965, Indonesia tidak membayar utang tersebut. Akibatnya, munculah Agresi Militer Belanda I dan II. Setelah berkali-kali mengalami kegagalan, akhirnya Belanda pun menyerah untuk memaksakan kehendaknya agar Indonesia membayar utang tersebut.
Namun, lanjut Revrison, Belanda tidak berhenti sampai di situ. Mereka mulai menyusun rencana lain, dengan cara lebih halus, antara lain dengan pembentukan Intergovernmental Group on Indonesia (IGGI). Dari sejarah, diketahui jika kelompok yang diketuai Belanda itu didirikan untuk membantu pembangunan Indonesia.
"Ternyata, di balik pendirian IGGI pun ada udang di balik batu. Logikanya sederhana. IGGI dibentuk, Belanda ketuanya, dengan syarat Indonesia harus mau membayar utang peninggalan Hindia Belanda. Akhirnya, pada 1967-1968, pemerintah kita yang saat itu dikepalai Soeharto, melakukan reschedulling pembayaran utang tersebut," ujarnya.
Ujungnya, lanjut Revrison, pada 1968 disepakati jika utang Hindia Belanda akan dicicil Indonesia dalam tempo 35 tahun. "Utang tersebut baru lunas pada 2003. Sekarang, utang Indonesia di luar utang Hindia Belanda bersisa 66,8 miliar dolar AS. Dengan utang sebesar ini, mau lunasnya kapan?" katanya.
Namun, terlepas dari utang yang saat ini dimiliki Indonesia, menurut Revrison, Indonesia telah lama dibohongi melalui penggelapan sejarah. Hampir setiap buku pelajaran sejarah di Indonesia, tidak ada yang mencantumkan perihal perjanjian pembayaran utang tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar