Minggu, 09 Juni 2013
Nama Sumatra telah dikenal Sejak Zaman Rasulullah
Syed Muhammad al Naquib al Attas
Benarkah pulau Sumatra telah dikenal oleh Rasulullah SAW semasa hidup, serta telah dilalui dan disinggahi para pedagang dan pelaut Arab di masa itu? Pernyataan ini diungkap Prof. Dr. Muhammad Syed Naquib al-Attas di buku terbarunya “Historical Fact and Fiction” yang di seminarkan November 2011 lalu.
[imagetag]Syed Muhammad al Naquib al Attas lahir di Bogor, 5 September 1931 adalah seorang cendekiawan dan filsuf muslim saat ini dari Malaysia. Ia menguasai teologi, filsafat, metafisika, sejarah, dan literatur. Ia juga menulis berbagai buku di bidang pemikiran dan peradaban Islam, khususnya tentang sufisme, kosmologi, filsafat, dan literatur Malaysia.
Kesimpulan Al-Attas ini berdasarkan inductive methode of reasoning. Metode ini, ungkap al-Attas, bisa digunakan para pengkaji sejarah ketika sumber-sumber sejarah yang tersedia dalam jumlah yang sedikit atau sulit ditemukan, lebih khusus lagi sumber-sumber sejarah Islam dan penyebaran Islam di Nusantara memang kurang.
Ada dua fakta yang al-Attas gunakan untuk sampai pada kesimpulan di atas.
Pertama, bukti sejarah Hikayat Raja-Raja Pasai yang di dalamnya terdapat sebuah hadits yang menyebutkan Rasulullah saw menyuruh para sahabat untuk berdakwah di suatu tempat bernama Samudra, yang akan terjadi tidak lama lagi di kemudian hari. Hikayat Raja-raja Pasai antara lain meyebutkan sebagai berikut:
“…Pada zaman Nabi Muhammad Rasul Allah salla’llahu ‘alaihi wassalama tatkala lagi hajat hadhrat yang maha mulia itu, maka sabda ia pada sahabat baginda di Mekkah, demikian sabda baginda Nabi: “Bahwa sepeninggalku ada sebuah negeri di atas angin samudera namanya. Apabila ada didengar khabar negeri itu maka kami suruh engkau (menyediakan) sebuah kapal membawa perkakas dan kamu bawa orang dalam negeri (itu) masuk Islam serta mengucapkan dua kalimah syahadat. Syahdan, (lagi) akan dijadikan Allah Subhanahu wa ta’ala dalam negeri itu terbanyak daripada segala Wali Allah jadi dalam negeri itu“….
Dasarnya tentu sangat kuat baik secara teologis maupun secara antropologis. Hamzah Fansuri, Nurruddin Ar-Raniry, Syamsuddin As-Sumatrani, Syech Abdurrauf As-singkili atau Syiah Kuala adalah beberapa diantara ulama besar di Aceh yang pernah ada di zaman keemasan kesultanan Pasai dan Aceh Darussalam. Bahkan, beberapa Wali Songo memiliki garis hubungan pendidikan atau lulusan (alumni) yang berguru di Samudera Pasai bahkan ada yang memiliki hubungan keturunan dengan Aceh penyebar Islam di Tanah Jawa.
Kedua, berupa terma “kāfūr” yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Kata ini berasal dari kata dasar “kafara” yang berarti menutupi. Kata “kāfūr” juga merupakan nama yang digunakan bangsa Arab untuk menyebut sebuah produk alam yang dalam Bahasa Inggris disebut camphor, atau dalam Bahasa Melayu disebut dengan kapur barus.
Masyarakat Arab menyebutnya dengan nama tersebut karena bahan produk tersebut tertutup dan tersembunyi di dalam batang pohon kapur barus/pohon karas (cinnamomum camphora) dan juga karena “menutupi” bau jenazah sebelum dikubur. Produk kapur barus yang terbaik adalah dari Fansur (Barus) sebuah kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, yang terletak di pantai barat Sumatra.
[imagetag]Dengan demikian tidak diragukan wilayah Nusantara lebih khusus lagi Sumatra telah dikenal oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari para pedagang dan pelaut yang kembali dengan membawa produk-produk dari wilayah tersebut (pasai) dan dari laporan tentang apa yang telah mereka lihat dan dengar tentang tempat-tempat yang telah mereka singgahi. Perlu di ketahui, bahwa asal-usul penamaan pulau “Sumatera” sendiri berasal dari kata “Samudera” Pasai.
Menurut berita-berita luar yang juga diceritakan dalam Hikayat Raja-raja Pasai kerajaan ini letaknya di kawasan Selat Melaka pada jalur hubungan laut yang ramai antara dunia Arab, India dan Cina. Disebutkan pula bahwa kerajaan ini pada abad ke XIII sudah terkenal sebagai pusat perdagangan di kawasan itu.
Kembali menurut Al-Attas, ia menyebutkan, ada empat faktor penyebab minimnya sumber dan kajian sejarah Islam dan sejarah penyebaran Islam di Nusantara.
Pertama, sumber dan karya ilmiah sejarah Islam yang ditulis dalam huruf Jawi/Pego (Arab latin) oleh masyarakat Nusantara tidak begitu terkenal di kalangan ilmuwan Barat karena tidak banyak dari mereka yang pandai membaca tulisan Jawi.
Kedua, banyak sumber sejarah yang hilang atau tidak diketahui keberadaannya pada zaman penjajahan.
Ketiga, biasanya sumber-sumber sejarah yang ditulis masyarakat Nusantara dianggap oleh orientalis sebagai artifak sastra, sebagai karya dongeng atau legenda, yang hanya bisa dipelajari dari sudut filologi atau linguistik, dan tidak bisa diterima sebagai sumber sejarah yang sempurna dan benar.
Keempat, karena minimnya sumber dan kajian sejarah Islam Nusantara membuat para ilmuwan Barat hanya menggunakan sumber, kajian dan tulisan dari luar Nusantara termasuk dari Barat. Mereka tidak memperhatikan atau mungkin tidak tahu adanya bahan-bahan dan informasi yang terdapat dalam berbagai sumber sejarah Islam termasuk sumber-sumber sejarah dari wilayah Nusantara.
Salah satu fakta spekulatif tersebut adalah hadits yang terdapat dalam Hikayat Raja Raja Pasai. Menurutnya, fakta-fakta tersebut bisa valid jika telah menjalani proses “verification of fact”. Namun Al-Attas tidak melakukan proses ini terhadap hadits yang disebutkan di dalam hikayat raja-raja pasai tersebut.
Muslim China warga Malaysia ini mempertanyakan tentang hadits ini dan mengkhwatirkan implikasinya terhadap pemikiran masyarakat Nusantara. Menurutnya, al-Attas melakukan inductive methode of reasoning secara tidak konstruktif. Sedang Dr. Syamsuddin Arif, dosen IIUM asal Jakarta, selaku pembicara kedua dalam acara bedah buku tersebut mengungkapkan kesimpulan al-Attas di atas logis dan sesuai dengan fakta.
[imagetag]Hal ini berdasarkan perjalanan pelaut dan pedagang Arab pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang pergi ke China. Untuk mencapai negeri China melalui laut tak ada rute lain kecuali melalui dan singgah wilayah Nusantara.
Lebih lanjut Arif mengemukakan berbagai teori dan pendapat tentang kapan, dari mana, oleh siapa, dan untuk apa penyebaran Islam di Nusantara beserta bukti-bukti dan fakta-fakta yang digunakan untuk mendukung pendapat-pendapat tersebut. Arif juga menjelaskan ilmuwan siapa saja yang memegang dan yang menentang pendapat-pendapat tersebut.
Di akhir makalahnya, Arif mempertanyakan pendapat J.C. Van Leur yang pertama kali menyatakan bahwa penyebaran Islam di Nusantara dimotivasi oleh kepentingan ekonomi dan politik para pelakunya.
Van Leur dalam bukunya “Indonesian Trade and Society” berpendapat, sejalan dengan melemahnya kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Sumatera dan khususnya di Jawa, para pedagang Muslim beserta muballigh lebih berkesempatan mendapatkan keuntungan dagang dan politik. Dia juga menyimpulan adanya hubungan saling menguntungkan antara para pedagang Muslim dan para penguasa lokal.
Pihak yang satu memberikan bantuan dan dukungan materiil, dan pihak kedua memberikan kebebasan dan perlindungan kepada pihak pertama. Menurutnya, dengan adanya konflik antara keluarga bangsawan dengan penguasa Majapahit serta ambisi sebagian dari mereka untuk berkuasa, maka islamisasi merupakan alat politik yang ampuh untuk merebut pengaruh hingga menghimpun kekuataan.
Menurut catatan M. Yunus Jamil, bahwa pejabat-pejabat Kerajaan Islam Samudera Pasai terdiri dari orang-orang alim dan bijaksana. Adapun nama-nama dan jabatan-jabatan mereka adalah sebagai berikut:
1. Seri Kaya Saiyid Ghiyasyuddin, sebagai Perdana Menteri.
2. Saiyid Ali bin Ali Al Makaarani, sebagai Syaikhul Islam.
3. Bawa Kayu Ali Hisamuddin Al Malabari, sebagai Menteri Luar Negeri.
Dari catatan-catatan, nama-nama dan lembaga-lembaga seperti tersebut di atas, Prof. A. Hasjmy berkesimpulan bahwa, sistem pemerintahan dalam Kerajaan Islam Samudera Pasai sudah teratur baik, dan berpola sama dengan sistem pemerintahan Daulah Abbasiyah di bawah Sultan Jalaluddin Daulah (416-435 H).
Nama Samudera dan Pasai sudah populer disebut-sebut baik oleh sumber-sumber Cina, Arab dan Barat maupun oleh sumber-sumber dalam negeri seperti Negara Kertagama (karya Mpu Prapanca, 1365) pada abad ke 13 dan ke-14 Masehi. Dan tentang asal usul nama kerajaan ini ada berbagai pendapat.
Menurut J.L. Moens, kata Pasai berasal dari istilah Parsi yang diucapkan menurut logat setempat sebagai Pa’Se. Dengan catatan bahwa sudah semenjak abad ke VII M, saudagar-saudagar bangsa Arab dan Parsi sudah datang berdagang dan berkediaman di daerah yang kemudian terkenal sebagai Kerajaan Islam Samudera Pasai .
[imagetag]
Mohammad Said, salah seorang wartawan dan cendikiawan Indonesia pengarang buku ACEH SEPANJANG ABAD yang berkecimpung dengan penelitiannya tentang kerajaan ini dan kerajaan Aceh, dalam prasarannya yang berjudul “Mentjari Kepastian Tentang Daerah Mula dan Cara Masuknya Agama Islam ke Indonesia”, berkesimpulan bahwa istilah PO SE yang populer digunakan pada pertengahan abad ke VIII M seperti terdapat dalam laporan-laporan Cina, adalah identik atau mirip sekali dengan Pase atau Pasai.
Pendapat ini adalah sesuai dengan apa yang telah dikemukakan oleh Prof. Gabriel Ferrand dalam karyanya (L’Empire, 1922, hal.52-162), dan pendapat Prof. Paul Wheatley dalam (The Golden Khersonese, 1961, hal.216), yang didasarkan pada keterangan para musafir Arab tentang Asia Tenggara. Kedua sarjana ini menyebutkan bahwa sudah sejak abad ke-7 Masehi, pelabuhan-pelabuhan yang terkenal di Asia Tenggara pada masa itu, telah ramai dikunjungi oleh para pedagang dan musafir-musafir Arab. Bahkan pada setiap kota-kota dagang itu telah terdapat fondachi-fondachi atau permukiman-permukiman dari pedagang-pedagang yang beragama Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar